Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan bahwa rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif bea masuk guna menghambat impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China tidak akan sepenuhnya efektif. Kebijakan tersebut dianggap kurang ampuh selama masih ada mafia impor yang mampu meloloskan produk ilegal murah ke pasar Indonesia.

Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, mengemukakan dua alasan utama di balik tumbangnya sejumlah pabrik tekstil di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, keterbatasan biaya menjadi penghalang bagi industri tekstil untuk meningkatkan teknologi yang digunakan. Perusahaan-perusahaan tekstil besar di Jawa Barat, khususnya, enggan melakukan restrukturisasi mesin karena mahalnya biaya, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan bunga pinjaman yang tinggi.

Situasi terkini industri tekstil nasional sedang berada dalam kondisi yang tidak stabil. Ratusan buruh dari berbagai pabrik tekstil menggelar demonstrasi untuk menentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Said Iqbal, Presiden Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, mengungkapkan bahwa melalui aksi ini, para buruh menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, salah satunya adalah pencabutan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.