Langkah Kementerian Perdagangan yang membatalkan rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis dari Tiongkok mendapat respons positif dari para pelaku industri tekstil nasional. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan keputusan ini mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kelangsungan dan daya saing sektor tekstil dalam negeri.

Keputusan Kementerian Perdagangan yang tidak melanjutkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor produk benang filamen sintetis tertentu asal Tiongkok mendapat apresiasi dari pelaku industri tekstil. Langkah ini dianggap sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap stabilitas industri dan perlindungan tenaga kerja.

Keputusan Menteri Perdagangan Budi Santoso untuk membatalkan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap dua bahan baku tekstil asal Cina, yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY), memunculkan pro dan kontra di kalangan industri. Langkah ini berujung pada batalnya potensi investasi sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp4,2 triliun di sektor hulu tekstil nasional.

Lonjakan impor produk dari Cina ke Indonesia terus menjadi perhatian serius. Terlebih setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada April 2025 kembali menerapkan tarif tinggi kepada Cina, memaksa Negeri Tirai Bambu mengalihkan ekspornya ke negara lain, termasuk Indonesia. Data Bea-Cukai Cina mencatat nilai impor Indonesia dari Cina sepanjang Januari–Mei 2025 mencapai US$ 33,45 miliar atau sekitar Rp 544,6 triliun, naik 16,8 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Majelis Rayon KAHMI Tekstil menyampaikan aspirasi kepada DPR RI untuk mendesak percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Senin, 16 Juni 2025, bersama anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia dan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, KAHMI Tekstil menyoroti pentingnya payung hukum yang komprehensif bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.