Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia menghadapi tantangan besar yang memuncak dalam krisis pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melibatkan lebih dari 1 juta pekerja. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, memperkirakan angka ini seiring dengan penurunan drastis dalam utilisasi pabrik sejak kuartal keempat tahun 2022. Perlambatan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan dari pasar ekspor utama produk TPT Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang memicu gelombang PHK ini. Serangan barang impor, baik yang legal maupun ilegal, juga telah menggerus pangsa pasar bagi industri domestik.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia telah lama menjadi tulang punggung perekonomian domestik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan besar muncul dalam bentuk banjirnya impor ilegal yang masuk melalui berbagai jalur, termasuk jasa titip atau jastip. Hal ini menjadi sorotan utama Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, yang menyatakan bahwa aktivitas jastip ilegal telah merugikan industri domestik. Menurut Redma, peraturan baru yang diusung oleh Pemerintah Indonesia, yakni Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/2023, yang mengatur tata kelola impor border, menjadi langkah penting dalam menciptakan keadilan dalam dunia usaha. Dalam pandangannya, banyak barang ilegal yang masuk ke pasar domestik melalui jastip, yang secara tidak sah tidak membayar bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), merusak daya saing produk lokal.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengumumkan potensi perubahan Peraturan Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan ketentuan impor karena banyaknya keluhan dari berbagai pemangku kepentingan. Zulhas mengungkapkan, kekhawatiran tersebut telah ia sampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto guna mengkaji aturan tersebut.