Industri tekstil di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadapi tantangan serius dalam beberapa tahun terakhir. Dampak dari penurunan ekspor tekstil, terutama pakaian jadi bukan rajutan, telah memicu perhatian dari berbagai pihak terkait, termasuk Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY. Menurut Kepala Disperindag DIY, Syam Arjayanti, penurunan ekspor tekstil sebesar 21% hingga Agustus 2023 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penyebab utamanya dipengaruhi oleh faktor global, di mana terjadi perlambatan ekonomi dan penurunan permintaan akibat dari perang yang mempengaruhi sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dampak dari perang Rusia-Ukraina dan perang Israel-Palestina telah menambah ketidakpastian dalam perdagangan global.

Dalam tengah tren ekspansif Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2023, keberlanjutan pertumbuhan ekonomi terhambat oleh tantangan yang dihadapi sektor manufaktur, khususnya pada industri padat karya seperti sepatu dan tekstil. Ancaman ini menjadi sorotan utama dalam dialog antara Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Danang Girindrawardana, dan Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, yang menyoroti perlunya fokus pemerintah yang lebih luas di luar aktivitas politik.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia menghadapi tantangan serius dengan penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, mengungkapkan bahwa kondisi kontraksi terus berlanjut, memaksa industri ini untuk memilih ketahanan daripada menaikkan upah bagi karyawan. Redma menyatakan bahwa kinerja industri TPT masih terkontraksi hingga akhir kuartal keempat tahun 2023, dan belum terlihat adanya perbaikan signifikan untuk tahun 2024.