Industri tekstil Indonesia tak luput dari pengenaan tarif impor resiprokal sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat (AS). Kondisi ini mendorong pelaku usaha untuk mengalihkan fokus perjuangan dari negosiasi tarif ke pembenahan regulasi di dalam negeri agar daya saing industri nasional tetap terjaga.

Sepanjang 2025, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) kembali berada dalam tekanan berat. Bersama sektor garmen dan alas kaki, industri padat karya ini menjadi salah satu penyumbang terbesar pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Tekanan tersebut sudah terasa sejak awal tahun, ditandai dengan langkah efisiensi perusahaan, penutupan lini produksi, hingga penghentian operasional pabrik di sejumlah kawasan industri, khususnya di Pulau Jawa.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong penguatan sinergi lintas kementerian guna mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil. Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menilai langkah Kementerian Ketenagakerjaan yang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan merupakan upaya penting dalam menjaga perlindungan tenaga kerja di tengah tekanan yang dihadapi sektor tersebut.

Pemerintah memastikan produk tekstil Indonesia tidak masuk dalam daftar komoditas yang memperoleh fasilitas pembebasan tarif bea masuk dalam skema kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, keringanan tarif hanya diusulkan untuk komoditas tertentu yang saat ini dikenakan bea masuk sekitar 19 persen.

Pemerintah menyiapkan pembiayaan khusus senilai Rp2 triliun bagi industri tekstil dan furnitur dalam negeri guna memperkuat kinerja ekspor kedua sektor tersebut. Skema kredit ini akan disalurkan melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan bunga kompetitif sebesar 6 persen.