Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 2 triliun untuk memperkuat pembiayaan ekspor industri furnitur dan tekstil. Dana tersebut akan disalurkan melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagai upaya memperluas akses permodalan sekaligus meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global.

Upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk membenahi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Selain tekanan dari produk impor dan peredaran barang ilegal, keterbatasan akses permodalan kini menjadi persoalan serius yang dirasakan langsung oleh pelaku industri.

Sejumlah kalangan pengusaha menyatakan keberatannya terkait formula kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025. Pasalnya koefisien alfa yang ditetapkan sebesar 0,5-0,9 jauh diatas usulan pengusaha yang sebesar 0,3-0,5. Kepastian kenaikan upah di 2026 yang masih berproses dimasing-masing daerah dengan mengikuti peraturan tersebut ditenggarai menjadi tambahan tekanan bagi industri.

Menjelang akhir tahun 2025, pelaku usaha nasional, khususnya di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), masih menghadapi persoalan serius dalam mengakses kredit perbankan. Melalui saluran pengaduan Satgas Percepatan Program Strategis Pemerintah (P2SP), berbagai hambatan yang dihadapi dunia usaha mulai terungkap, salah satunya kesulitan industri tekstil memperoleh pembiayaan dari bank, termasuk bank milik negara.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai upaya pemerintah dalam mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil perlu dilakukan secara terkoordinasi dan berkelanjutan. Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, mengapresiasi langkah Kementerian Ketenagakerjaan yang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan sebagai bentuk keseriusan negara dalam melindungi tenaga kerja di sektor padat karya tersebut.