Empat perusahaan dalam negeri yang bergerak di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menghadapi dampak serius akibat praktik dumping berupa impor benang filamen poliester asal China. Praktik ini menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, menekan harga pasar, dan mengancam kelangsungan hidup industri dalam negeri. Meskipun tiga dari empat perusahaan masih memiliki peluang untuk beroperasi penuh berkat suntikan investasi, seluruh rencana pemulihan itu kini bergantung pada kepastian kebijakan pemerintah dalam menerapkan bea masuk antidumping (BMAD).

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional tengah menghadapi ancaman serius. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa jutaan pekerja di sektor ini terancam kehilangan pekerjaan akibat kondisi industri yang kian memburuk. Menurutnya, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan penurunan drastis dalam aktivitas industri tekstil tanah air.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi hingga Mei 2025 di Indonesia memicu kekhawatiran luas di kalangan pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 24.000 pekerja telah mengalami PHK dari Januari hingga April, jumlah yang sudah melebihi sepertiga total PHK sepanjang 2024. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah yang lebih besar, yakni lebih dari 40.000 pekerja, dan memperkirakan angka ini bisa mencapai 70.000 orang pada akhir tahun.